Rabu, 19 Oktober 2016

Nanggroe Aceh Darussalam

Seumur hidup, gak terbayang akan pernah datang ke provinsi ini. Apalagi mengingat peristiwa Tsunami 2006. Tapi ternyata nasib bisa membawa saya untuk bisa mengunjungi provinsi ini, walaupun hanya di Banda Aceh sampai dengan Aceh Besar.

I’ve been to some cities in Indonesia.. walaupun belum pernah ke Indonesia Timur. Dan biasanya jarang sekali pengen nulis tentang suatu kota yang dikunjungi, karena menurut saya biasa aja kota-nya, ga ada yang istimewa, nothing special to write.

Tapi Aceh, sangat berbeda. Nyesel juga kurang lama waktu disini… totalnya +/- hanya 48 jam saja, yang 80% habis untuk tidur dan meeting.  Tapi tetep, banyak kesan yang saya dapatkan.. walaupun awalnya sempat khawatir  dan hanya bisa berdoa semoga gak ada gempa selama disana sehingga bisa kembali ke Jakarta dengan selamat.

Pertama tiba, sudah jam 8.30 malam, berangkat jam 17.45 langsung dari Jakarta by GA.. gak banyak yang bisa dilakukan selain check in hotel dan langsung istirahat. Jadwal flight ke/dari Aceh, memang ga banyak pilihan… dan jam-nya juga menurut saya jam jam yang tanggung.. banyak juga flight yang harus transit via Medan. Untuk airlinesnya, setahu saya hanya Garuda dan Lion saja pilihannya.
Saya menginap di hotel Hermes Palace, Banda Aceh selama 2 malam – hotel paling bagus di Aceh (menurut orang2 disana) selain hotel Oasis, dengan corporate rate 802.000 nett.  Sebenarnya keheranan saya sudah dari sehari sebelumnya ketika coba search hotel lain di Aceh yang lebih murah di website, kok ga ada ya nama2 familiar seperti Aston, Novotel, Horison, Fave, dll dsb…yang biasanya di setiap kota pasti ada. Ternyata menurut orang lokal, pemerintah di Aceh sangat ketat dalam pendirian hotel, tidak mudah bagi investor untuk seenaknya membangun hotel.. karena semua yang berbau “maksiat” diminimalisir sekali. Walaupun kan fungsi hotel bukan hanya tempat maksiat ya, tapi tetep aja, kenyataannya jumlah hotel sangat sedikit di Aceh. Malah katanya yang banyak adalah hotel syariah, semacam wisma. Sayang saya ga sempat lihat, seperti apa sih hotel syariah itu….. Ini awal mula saya mulai kagum dengan kota ini.. luar biasa. Syariat Islam benar2 ditegakkan disini.

Hari kedua, jadwal adalah full meeting di Depo Malahayati, Aceh Besar. Lokasinya ada di pesisir pantai, tanah paling ujung dari pulau Sumatera. Saya bisa melihat pulau Sabang (selama ini saya kira Sabang itu masih di tanah Sumatera) dari kejauhan… dan katanya butuh 45 menit naik speed boat untuk ke pulau Sabang. Semua Depo perusahaan saya kerja ini memang pasti di pinggir laut, karena harus mendekati pelabuhan… fungsi utamanya, agar  lebih mudah ketika cargo aspal datang dari Singapore/negara lain, langsung dialirkan ke tangki aspal storage kami. Hal ini juga lebih menghemat biaya tentunya.   Depo Malahayati, Aceh ini menurut saya punya panorama paling indah dari semua Depo yang pernah saya kunjungi : Balikpapan, Ciwandan (Banten), Palembang dan Medan. Bagaimana tidak, bagian belakang depo sudah pemandangan laut lepas dan arah sebaliknya (bagian depan) pemandangan bebukitan. Depo ini juga satu-satunya yang membangun surau/musholla sebagai tempat sholat.

Meeting saya dengan semua karyawan Depo (baik individual maupun meeting bersama), juga cukup berkesan. Rata-rata mereka semua orang asli Aceh. Hanya beberapa saja yang orang luar Aceh dan campuran. Kalau mendengar mereka bicara bahasa Aceh, saya berasa lagi di dunia lain… roaming deh langsung he he. Tapi saking mereka sangat memegang erat kebudayaan mereka, banyak juga orang Aceh yang hanya bisa bahasa Aceh, tidak bisa bahasa Indonesia. Seru mendengar cerita dari orang lokal mengenai historical tentang Aceh… selama ini saya hanya tau Aceh pernah jadi daerah konflik, GAM yang ingin memerdekakan diri, banyak pelanggaran ham dan satu2nya provinsi yang memberlakukan syariat Islam (hukum cambuk dll).

Di lain sisi, berada di Banda Aceh, saya merasa seperti mundur 10-20 tahun kebelakang. Sama sekali tidak lihat ada gedung-gedung bertingkat (kecuali hotel), tidak ada jalan toll, tidak ada mall (hanya ada Matahari/Ramayana dan sejenisnya), tidak ketemu satupun Indomaret/Alfamart, tidak ada bioskop, tidak ada sama sekali kesan western/hedonism disini... Satu yang saya langsung sadari, kalau saya tinggal disini, pasti hidup saya akan sangat hemat sekali! *maklum emak emak

Karyawan bagian Sales yang kebetulan jadi “supir” saya selama disana, kebetulan orang asli Aceh tapi sudah sering merantau (kuliah & kerja) diluar Aceh, dan dia masih muda. Jadi secara logika, dia pasti bosan sekali disini kalau dibandingkan dengan kota2 besar lain yang dia pernah tinggali… tapi ketika saya tanya, jawabannya : “kalau bosan ya tinggal ke pergi pantai bu…pergi ke pulau Sabang… pergi ke Medan… orang2 sini kalau mau nonton bioskop, pergi shopping, mau nakal-nakal.. ya tinggal ke Medan saja….semua bebas disana”. Saya baru tau juga kalau di Aceh polisi syariahnya sedang berpatroli, bisa menangkap juga wanita yang berpakaian ketat… walaupun sudah berhijab. OMG!

Anyway, jam sudah menunjukan pukul 6 sore ketika meeting akhirnya selesai. Waktu sholat disini beda 1 jam lebih lambat dari Jakarta, jadi Maghrib disini baru menjelang jam 7 malam. Saya memutuskan balik ke hotel dulu untuk solat Maghrib sebelum makan malam dan cari oleh-oleh untuk keluarga. Jarak dari Depo ke Hotel sekitar 35 kilo dan sepanjang jalan itu sepiii sekali, tidak terlihat ada lampu penerangan jalan (pemandangan kiri kanan kalau tidak laut, ladang, kebun, pepohonan, rumah yang jaraknya berjauhan satu sama lain), jadi lebih baik segera pulang sebelum gelap. Baru setelah memasuki kota Banda Aceh, kiri kanan mulai ramai…  saya diajak makan di resto Canai Mamak, makanan khas Malaysia/Melayu. Walaupun saya sebenarnya bukan penggemar makanan ber-kari/santan, tapi saya coba saja Nasi Mamak Ayam Rendang, yang kata pelayannya tidak pedas, tapi buat saya cukup pedas. Ada juga nasi Briyani, roti Cane, dan menu2 lainnya. Mirip2 menu Arabian juga sih….

Seberapapun sibuknya jadwal ketika pergi ke kota yang baru, saya selalu sempatkan untuk paling tidak beli magnet tempelan kulkas icon kota tsb (karena koleksi), walaupun itu belinya di airport. Jadi beli ke toko souvenir wajib hukumnya :)  Pencarian souvenir dilakukan di depan Mesjid Baiturrahman yang sudah terkenal menjadi icon kota Banda Aceh. Sayang mesjid ini sedang di-renovasi jadi hanya bisa lihat kubahnya saja…  kalau engga sih pengen banget  merasakan sholat  disini. Harga-harga souvenir disini cukup murah dan antara 1 toko dan yang lainnya, rata2 menjual barang2 yang sama. Khas nya adalah kopi Aceh, pajangan rencong dan tas bordir. Kalau saya sih hanya beli frame rencong, kaos anak2 dan coklat khas Aceh (dibuat di Pidie), rekomendasi dari si Sales yang asli Pidie. Saya bukan penggemar kopi hitam, jadi gak beli kopi sama sekali. Buat saya kopi sachet 3 in 1 sudah cukup nikmat untuk memulai hari di kantor.
 “Pintu Aceh” jadi juga icon segala macam pernak pernik souvenir disini… belum sempat tanya lebih jauh mengenai pintu Aceh ini sih…jadi kurang tau juga kenapa pintu Aceh ini ada di banyak souvenir2 yang dijual. Hari yang melelahkan ini ditutup sekitar jam 10 malam, kembali ke hotel dan packing, karena besok flight saya jam 7 pagi, jadi jam 6 sudah harus di airport (huft!).  

Aceh… jadi provinsi kedua setelah Bali yang paling berkesan di Indonesia, versi saya. Buat kalian yang belum pernah kesini, it’s worth a visit, at least once in our lifetime.  
Saya bersyukur punya pekerjaan yang mengharuskan saya keliling Indonesia.. walaupun hanya ke beberapa kota saja. Allah memang punya banyak cara untuk membuat kita untuk selalu mensyukuri keindahan ciptaan-Nya.


Life live to the fullest.. go travel and see the world :)